Jumat, 03 Desember 2010

Mr. GATOT WIDAYANTO

Sebuah Curhat Nuansamatik oleh: Gatot Widayanto

JRENG! Majalah Aktuil telah menjadi bagian “penting” dalam kehidupan saya terutama pada saat majalah ini heboh sekali di seputar awal 70an hingga pertengahan 70an. Saya tidak tahu tepatnya tahun kapan mulai mengenal majalah ini. Yang jelas, waktu itu saya tinggal di Madiun, Jatim, bersama ibu dan kakak saya yang nomer dua, Henky. Saya anak bungsu dan saat mengenal Aktuil masih duduk di bangku SMP karena mas Henky inilah yang rajin sekali membeli majalah ini. Aktuil bisa dikatakan sebagai trendsetter kehidupan anak muda saat itu. Masih ingat sekali saya setiap hari menghabiskan setiap halaman berita musik sambil menunggu edisi selanjutnya terbit. Ada empat hal yang selalu saya tunggu pada edisi berikutnya dari majalah Aktuil: Pertama, poster apa yang akan disertakan dalam edisi tersebut; kedua, berita utama (cover story)-nya apa; ketiga, ada bonus sablonan buat kaos apa tidak, dan keempat ada stiker atau tidak. Tentu, selain keempat hal tersebut saya juga mengharapkan ulasan-ulasan menarik dan informatif mengenai perkembangan musik rock saat itu.

Meskipun saya di Madiun, saya selalu “updated” dengan perkembangan musik rock karena adanya majalah Aktuil ini. Ingat, pada saat itu belum ada istilah www dotcom sama sekali, bahkan membayangkan adanya komputer saja tidak pernah terlintas sama sekali. Bisa dibayangkan begitu sulitnya mendapatkan informasi aktuil mengenai perkembangan musik rock. Memang sejak usia SD saya sudah sangat terobsesi dengan musik rock terutama setelah mendengarkan album ”Demons and Wizards”-nya Uriah Heep yang merupakan kaset rekaman Starlite C-60 yang dibeli mas Henky. Setelah itu saya mengenal ”Fools”-nya Deep Purple dan ”I Can Feel Him In the Morning”-nya Grand Funk Railroad saat saya berlibur ke indekosan kakak saya yang sulung, mas Budi, di Tebet Jakarta. Wuah, sejak itu saya mengokohkan minat saya terhadap musik rock. Luar biasa sekali musik ini karena bisa menciptakan mood semangat yang tinggi dan memacu adrenalin untuk selalu semangat. Yeah! Apalagi setelah saya tahu Yes album ”Fragile” rekaman dari PH, dari mas Henky yang saat itu sudah jadi penyiar di Yogya.

Pada saat mas Henky kuliah di UGM, Yogya, saya terpaksa harus merengek ke ibu untuk membelikan majalah Aktuil. Masih ingat saya pada saat beberapa hari sebelum terbit saya mengunjungi kios majalah ”Toko Kaji” yang terletak di Jl. Sumatra pojokan Jl. Pahlawan, Madiun, untuk mengecek apakah edisi terbaru sudah keluar atau belum. Terus setelah keluar pun, saya hanya mampu melirik-lirik sampulnya saja karena sering kali saya tidak tega meminta uang ke ibu untuk beli majalah ini. Ibu saya saat itu sudah menjanda karena ayah meninggal dunia saat saya sekolah TK, dan berprofesi sebagai penjahit. Saya harus menunggu kapan ibu sudah menerima bayaran jahitan dari pelanggan-pelanggannya. Sering kali saya dibelikan oleh ibu, tapi kadang kala saya terlewat edisi tertentu karena pada saat saya ”mampu” beli (pakai uang ibu saya) edisi tersebut sudah ludes di Toko Kaji. Saya gigit jari. Catatan: Sambil menulis ini (20 Mei 2007), saya menitikkan air mata (mbrebes mili) sungguhan, mengingat begitu sulitnya saat itu dan juga sekaligus perasaan betapa indah dan damainya masa kecil/remaja saya dulu. Inilah hebatnya Aktuil! Bisa menghidupkan masa lalu begitu eloknya meskipun saat ini saya sedang memasang musik cadas dari album Dream Theater paling anyar ”Systematic Chaos” di laptop saya.

Suatu edisi tertentu, Aktuil telah membuat inovasi luar biasa (menurut kacamata saya saat itu) yaitu dengan menerbitkan ”bonus” berupa sablonan kaos dengan cara menyetrika sablonan ke kaos. Luar biasa! Karena saya punya kaos (T-Shirt) warna merah polos, saat itu sablonannya warna hitam dengan tulisan sablonan yang saya tak akan pernah lupakan : I’m Young and I’m Proud! Waduh … kereeeeennn abiss!!!! Langsung saya setrika dengan hati-hati dan penuh perasaan. Hasilnya? Jreng! Luar biasa ….!!! Saya punya sablonan dari majalah paling top di Indonesia saat itu di kaos saya. Yes! Sorenya langsung saya pake ”nyengklak” (naik) sepeda jengki Forever warna hijau keliling Madiun. Saya mengayuh sepeda dari Jl. Sumatra (tempat tinggal kami), menyusur Jl. Pahlawan, Tugu, Pasar Gede, Jl. Dr. Sutomo dan kembali ke Jl. Sumatra. Rasanya, hari itu saya jadi ”Superstar” karena menjadi orang Madiun pertama yang menggunakan sablonan paling keren sejagad itu!

Aktuil memang sering menambah bonus sablonan setrika tersebut dengan tulisan yang beragam. Saya tidak ingat semua, karena sudah sekitar 35 tahun yang lalu. Kalau tidak salah, pernah juga yang simbol telunjuk tangan tampak muka ala Grand Funk Railroad yang kesohor itu. Namun yang paling berkesan bagi saya ya ”I’m Young and I’m Proud.” Mengapa? Karena saya waktu itu ingin banget jadi ”muda” karena sebetulnya saya masih kecil (paling kelas 2 SMP) dan belum masuk kategori ”muda” yang notabene anak SMA begitu.

Syahdan, pas mas Henky liburan kuliah di Fakultas Ekonomi UGM, dia pulang ke Madiun. Pas saya lagi duduk-duduk mendengarkan ”No One to Depend On”-nya Santana, dia tahu-tahu menghampiri saya sambil bilang: ”Kamu dengarkan kaset ini sambil baca artikel ini!”. Wah, gaya ngomongnya itu lho yang gak tahan, instruksional banget. Memang sih, waktu saya kecil, saya ini takut sekali sama mas Henky karena jarak umur kami cukup jauh: 7 tahun. Yang dia sodorkan adalah: Kaset Genesis rekaman Pop Discotic dengan side B-nya adalah Kayak, dan majalah Aktuil yang saat itu mengulas Genesis. Pertama, saya heran, kok ada kaset rekaman Pop Discotic, apakah ini lagu disco? Padahal saya tahu mas Henky ini ngerock banget dan juga penyiar di Radio Geronimo Yogya. Dugaan saya salah, ternyata itu hanya merek usaha rekaman bajakan yang biasa terjadi saat itu dengan nama beragam: Peony, Sinar Djaja, Scorpio, Aquarius, Perina, King’s, Yess, Lolita, Hins Collection, Contessa, Rover, Nirwana, Starlite, Apple, Monalisa. Dan ternyata, Genesis itu rock.

Masih ingat saya putar kaset itu dan daftar lagunya adalah ”The Musical Box”. Luar biasa musiknya, dimulai dengan bebunyian piano dengan nuansa 70an yang kental sekali : ”teng teng teng teng …. Play me Old King Cole / That I may join with you / All your hearts now seem so far from me / It hardly seems to matter now……….” wuih dahsyat sekali! Seperti biasa, jaman dulu kaset tidak ada judul albumnya dan belakangan saya tahu dari Aktuil bahwa ini adalah album Genesis ”Nursery Cryme.” Kontan, saya menyukai lagu berjudul ”The Return of Giant Hogweed” dari Genesis. Karena side B-nya adalah Kayak, saya langsung cinta dengan lagu “Woe and Allas”. Indahnya masa remaja dulu … Musik-musik seperti ini melekat dengan kuat di ingatan saya, hingga kini saat format sudah menjadi cakram padat (CD), saya tetap mengoleksinya.

Di artikel Genesis tersebut, Aktuil mengulas habis era Peter Gabriel terutama saat album awal hingga Nursery Cryme. Di situ juga ada foto Peter Gabriel dengan dandanannya yang terkenal teatrikal seperti bisa dilihat di sampul album Genesis ”Live”. Jubah hitam, topi segitiga/piramid dengan tekstur warna biru tua dan pink menyala di bagian tengah. Wah, ini foto sangat mengesankan. Saya menyebutnya dengan istilah “nuansamatik” (sesuatu yang bisa menciptakan suasana klasik saat musik rock pada awalnya bergulir dan sangat digemari banyak orang di tahun 70an itu). Istilah ini memang saya buat untuk menggambarkan situasi saja, dan sudah sering saya gunakan di milis m-claro, i-Rock!, maupun prog-rock.

Tidak hanya Genesis saja saya mengenal grup kaliber dunia dari Aktuil. Ada puluhan (mungkin ratusan) band yang saya tahu dari majalah ini, baik grup internasional maupun nasional. Salah satu yang sangat ”membekas” hingga kini adalah ulasan Aktuil tentang band baru bernama Angel. Waduh, Aktuil mengulas band ini begitu lengkap dan sangat detil disertai wawancara dengan personel band ini di London. Luar biasa! Adalah almarhum Denny Sabri yang bertanggung-jawab meracuni saya dengan kelompok baru bernama Angel ini. Pokoknya kalau Anda melihat sampul muka Aktuil ada gambar foto personil grup ini pasti akan tertarik karena bagus sekali fotonya: rambut gondrong, poni, muka manis dan kostumnya putih semua. Uediyan! Itulah umpatan saya waktu itu tentang ulasan menarik Aktuil ini. Setelah baca ulasan Angel di Aktuil, saya tersiksa. Lho? Iya, karena saya kesulitan sekali mendapatkan kasetnya di Madiun. Wah … tambah penasaran saja. Setelah cukup lama cari, akhirnya saya dapat juga kaset ini dijual di toko Duta Irama Madiun, harganya Rp. 500,- Begitu saya setel, lagu pertamanya adalah ”Long Time” … biyuh .. langsung nggeblak saya menikmati lagu yang komposisinya begitu indah ini. Luar biyasa! Bahkan di bagian interlude musiknya ada bebunyian flute segala. Belum lagi lagu ”Tower” yang gahar dan ”Mariner” yang melankolis sekali. Hebatnya Aktuil juga mengeluarkan stiker logo Angel yang langsung saya tempelkan di gitar akustik saya. Saya langsung cari chords-nya Mariner dan sering saya mainkan dengan gitar akustik. Keren! Tidak salah memang, Aktuil selalu memberikan reportase yang benar-benar ”aktuil” dan ”pas” dengan kenyataan. Buktinya, Angel ini saya baca ulasannya jauh sebelum saya dengar musiknya, dan begitu dapat kasetnya langsung ”bleng” masuk telinga dan hati dengan indahnya. Di jaman digital ini, saya juga sudah membeli format CD-nya dan album ini menjadi album kesayangan saya, karena sangat nuansamatik bagi saya.

Tidak hanya grup asing yang saya kenal dari Aktuil. Banyak grup Indonesia yang saya kenal dari Aktuil. Saat itu marak sekali berita musik (rock maupun pop) dibahas di Aktuil dengan grup-grup Indonesia saat itu: AKA, Giant Step, Harry Roesli and The Gank, Rawe Rontek, Micky Bentoel, Hookerman, Yeah Yeah Boys, The Mercy’s, Gembel’s, Rollies, Ternchem, Sylvia Saartje, Super Kid, Freedom of Rhapsodia, Rasela (Rajawali Selatan), Pretty Sisters, God Bless, D’Loyd, The Favourites, De Hands, Koes Plus, NoKoes, dan masih banyak lagi grup maupun penyanyi nasional lainnya. Rasanya semua yang diulas di Aktuil, saya hafal.

Kamar tidur saya saat itu sangat besar (6 M x 6M) dan tinggi plafonnya 5 M karena rumah kami di Jl. Sumatra no. 26, adalah peninggalan jaman Belanda. Hebatnya, kamar tersebut semua dindingnya penuh dengan poster dari Aktuil. Ada Raquel Welch (tidak ada hubungannya dengan rock sih, tapi nuansamatik), Rod Stewart, Ekseption, Kayak, Uriah Heep (era David Byron), Deep Purple, Black Sabbath, Suzy Quatro (dengan kostum kulitnya), Led Zeppelin. Tidak ada sejengkal pun dari dinding kamar saya yang tidak dipenuhi poster.

Aktuil juga pernah mengeluarkan kompilasi lagu-lagu rock yang namanya ”Rock Vibrations,” maupun lagu pop ”Easy Listening.” Sekali lagi, saya takjub dengan Aktuil karena melalui kaset kompilasi ini saya semakin merasa kecil karena ternyata banyak sekali grup yang namanya sangat ”asing” bagi saya. Contoh ekstrimnya adalah ada grup namanya Popol Ace yang di kaset kompilasi itu ada salah satu lagunya berjudul ”Music Box”. Wow! This song has become one of great songs I have ever heard in my life! Arensemen lagu ini luar biasa! Dimulai dengan petikan gitar akustik yang manis sekali diikuti untaian lirik yang indah melalui vokal : “I’m sitting in a music box , making songs I wanna know what for? Is there really more to tell , or haven’t you really had before? Oh … uuuhhhh … who can tell? Oh .. in the end it won’t make us different.”. waduh! Rasanya saya mau menangis kalau mendengarkan lagu ini! Ingat masa remaja yang indah dan ingat Aktuil!

Selain Popol Ace, saya juga jadi kenal musiknya Nektar yang di situ ada lagunya ”Fidgety Queen”.
Majalah Aktuil juga pernah menciptakan sejarah luar biasa dengan mendatangkan Deep Purple untuk main di Jakarta. Pada saat itu di Aktuil sedang santer dibicarakan betapa bedanya permainan Tommy Bolin, gitaris baru, terhadap Ritchie Blackmore, gitaris lama. Banyak orang yang tidak begitu menyambut dengan anthusias kehadiran Tommy Bolin di Deep Purple. Namun, begitu majalah ini mengumumkan akan mendatangkan Deep Purple, tetap saja anthusiasme pembaca masih meluap tinggi sekali. Saya masih ingat betapa saya ”menderita” karena konsernya nun jauh di Jakarta dengan tiket yang luar biasa mahalnya bagi ”wong ndeso” (orang kampung) seperti saya, yaitu Rp. 7.500,-. Saya cukup puas mendengarkan kaset album terbarunya saja ”Come Taste The Band” yang memang sangat saya suka.

Herannya, prestasi sekolah saya malah meningkat baik walaupun saya ”menggilai” musik rock dan berita-berita musik rock di Aktuil. (Selain Aktuil, kadang-kadang saya juga baca majalah musik TOP dan Muzik Ekspres dari Belanda). Mungkin karena saya selalu belajar sambil memasang kaset rock atau mendengarkan radio Australia atau radio gelap ”GM” (singkatan: Gombal Mukio) di Madiun yang konsisten mengudarakan lagu-lagu rock. Saya ingat sekali Aktuil membahas grup Toto dan kemudian sore harinya saya pasang radio merek Ralin ke gelombang SW Radio Australia siaran Indonesia, ada lagu ”Hold The Line”. Wow! What a great time! Masih ingat saya, waktu kelas 2 SMP, ibu guru Bahasa Inggris saya, Ibu Hera yang cantik, pernah memuji saya di depan kelas tentang prestasi gemilang saya mendapatkan angka 9 (tertinggi) dalam mata pelajaran Bahasa Inggris. Tentu saja, lha wong saya rocker, tiap hari dijejali lirik-lirik bahasa Inggris seperti ”He was the wizard of a thousand kings .. And I chance to meet him …dst.” yang merupakan lirik “The Wizards”-nya Uriah Heep yang merasuk sekali di otak saya. Karena seringnya diputar kaset ini, ibu saya (sekarang 81 tahun) juga menyukai Uriah Heep. Beberapa saat lalu (tahun 2007) saya putar CD album ini, ibu saya masih ingat bahwa ini lagunya Uriah Heep. Luar biasa beliau ini.

Pelajaran matematika saya juga melesat tinggi dan pernah menduduki juara kelas dan saya masuk dalam kelas “unggulan” di SMP Negeri I Madiun dimana saat itu Kepala Sekolahnya Bapak Maryono. Saya masih ingat, kelas unggulan itu adalah kelas IID, isinya bocah-bocah berprestasi. Pokoknya hidup saya penuh semangat sekali, meskipun uang sangat sulit saat itu. Untung saya punya temen sesama rocker di SMP I Madiun, namanya Didik Rudiono, yang bercita-cita ingin menjadi Doktor. Benar, dia telah mencapai gelar Doktor dalam bidang peternakan dan saat ini mengajar di Universitas Lampung. Didik juga masuk kelas IID dan rocker. Kesimpulannya, rocker pasti cerdas. Ah…. saya tidak mau takabur. Saya dan Didik sering tukar-menukar kaset karena tidak mampu beli semua kaset.

Belakangan ini saya berpikir, apa hubungannya antara matematika dan musik rock? Akhirnya saya ketemu juga. Kalau matematika itu kan berarti kepastian, presisi, bukan ”perkiraan”. Sedangkan musik rock itu cirinya adalah juga presisi. Maksud saya, kalau ada band lokal yang membawakan lagu Led Zeppelin ”Kashmir” namun tidak persis, pasti akan dicela. Artinya, musik rock perlu presisi tinggi. Mungkin itu penyebabnya nilai prestasi saya di pelajaran matematika tinggi. Ini kemudian menurun ke anak saya, Dian Widayanti, yang saat ini kelas 3 SMP dan nilai matematika dan bahasa Inggrisnya selalu juara. Sayangnya, Dian ”belum” suka musik rock. Tidak masalah, suatu saat pasti suka.

Salah satu puncak prestasi saya adalah ketika saya bisa tembus masuk ITB pada tahun 1979. Dan, jangan salah, peran musik rock sangat besar dalam mengantarkan saya menjadi mahasiswa ITB. Kelas 3 SMA saya habiskan dengan belajar banting tulang sampai jam 4 dinihari (istilah Jawanya: ”begadang nganti dur”), tiap hari, sambil memasang musik Triumvirat (Spartacus, Old Loves Die hard), SNAFU, Led Zeppelin, Yes, ELP, Pink Floyd, Genesis, dan semua grup yang dibahas di Aktuil. Hari pertama saya menginjak kota Bandung untuk pendaftaran masuk ITB, sorenya saya nyetel kaset Rush ”Farewell To Kings” rekaman Yess Bandung. What a great time man! Setelah resmi sebagai mahasiswa ITB, sebelum perkuliahan dimulai, saya kembali ke Madiun menjalankan kaul sakral saya (bila diterima di ITB) untuk ngamen. Didik Rudiono, sahabat ngerock saya, ikut ngamen sama saya. Kita tetapkan daerah ngamennya adalah Ponorogo (28 KM selatan Madiun). Ya, hari itu kita gelar ”Road Concert 79” dengan saya main gitar, vokal, dan harmonika; Didik main bass dan temen saya Wowok sebagai kru. Lumayan, dapat uang Rp. 2,500,- yang kemudian Rp. 500,- kita pake buat makan sate Ponorogo sampai kenyang. Karena kami rockers, setlistnya pun banyak lagu rock, termasuk The Beatles ”While My Guitar Gently Weeps.”

Saya tidak tahu persis kapan Aktuil akhirnya bubar. Namun, ”roh” Aktuil masih hidup di saya hingga saat ini. Pada saat saya mulai karir saya sebagai reviewer di situs progressive terbesar dan kondang www.progarchives.com di tahun 2004, saya tulis majalah Aktuil sebagai ”influence” saya dalam menggemari dan menikmati musik rock dan progressive rock. Kalau tidak ada Aktuil, bagaimana saya bisa menikmati nada-nada keriting dari Yes, Genesis, ELP, Gentle Giant? Atau musik spacey seperti Hawkwind? Itulah hebatnya Aktuil! The magazine can be gone but the spirit carries on til today! Saat saya menulis ini, saya sudah mengulas 1,002 album progressive rock di situs internasional tersebut dan mendududuki peringkat no 2. Dari sekian banyak ulasan saya, saya juga menyebut majalah Aktuil. Salah satu pengulas tersebut adalah mas Purwanto Setiadi dari Koran Tempo. Beliau juga mengatakan di situs tersebut bahwa Aktuil-lah yang memperkenalkan beliau ke musik rock. Sampai sekarang saya masih berkomunikasi intens dengan mas Purwanto melalui milis i-Rock! maupun lewat SMS.

Saking intens-nya saya dipengaruhi oleh majalah ”gila” ini, sampai sekarang saya masih kadang-kadang menggunakan istilah jadul seperti ”blantika musik rock.” Jika anak sekarang, generasi metal, sering menyebut peta musik yang mereka sukai dengan ”metal scene,” kalo dalam ranah musik rock, saya masih suka dengan istilah ”blantika” yang memang pastinya diprakarsai oleh Aktuil. Bahkan, saya baca referensi di internet belakangan ini, ternyata istilah ”dangdut” itu juga berasal dari majalah Aktuil. Apa iya? Kalo iya, memang benar majalah ini sangat berpengaruh. Saya masih ingat dulu ada istilah ”duel antara rock dan dangdut” antara Benny Subardja (Giant Step) dan Rhoma Irama (Soneta). Kalau ingat berita ini, saya geli sendiri. Lha opo tumon? Mosok beda aliran mau duel, bagaimana ceritanya? Ada-ada saja. Saya yakin mas Benny maupun bang Rhoma kalau ingat masa lalu tentang hal ini pasti ketawa terpingkel-pingkel. Tapi ya itulah fenomena jadul.

Satu fenomena lagi yang terjadi saat itu selain musik adalah film. Memang saya sebetulnya tidak menyukai film tapi ya kadang-kadang saya ikut-ikutan nonton juga di bioskop Lawu atau Arjuna Madiun, bahkan Madiun Theater setelah saya SMA. Masih ingat saya film-film yang cukup mengesankan saya: ”Ratapan Anak Tiri” (aktor: Faradilla Sandy), ”Heintje”, ”Eyewitness” (aktor: Mark Lester), ”The Day of The Jackal”, ”Cassandra Crossing”, ”G Man Go”, ”Si Buta Dari Goa Hantu”, dan juga film di TV seperti ”Mission Impossible” maupun ”The Saint”.

Pada saat saya dan teman-teman membentuk komunitas i-Rock! tahun lalu, saya dan Mamak (penggila Deep Purple) yang mempertahankan supaya orientasi musik 70an tetap diberi porsi yang cukup selain glam rock (80an) dan metal. Benar saja, i-Rock! telah menggelar beberapa event dengan aliran classic rock seperti ”Ruby Thursday” dengan tribute Rolling Stones dan Led Zeppelin, Jam Session yang menampilkan metal dan classic rock, maupun progressive rock dengan Sarasehan Musik membahas Genesis beberapa bulan yang lalu. Semangat dari Aktuil tetap mengalir, melestarikan musik jadul 70an.
Beberapa saat yang lalu saya dihubungi oleh Pak Andy Julias, salah satu guru saya dalam musik progressive, yang mengatakan bahwa penyelenggaraan Progressive Nite yang baru saja digelar berlangsung sangat 70an karena ada pemutaran film dokumenter Aktuil. Terus saya juga dengar dari SMS Blast dari mas Tatan A. Taufik (American Express), dan mas Rizal B Prasetio (JP Morgan) bahwa Aktuil akan membuat buku memoar. Terus, saya teringat kenalan yang baru saya kenal sekitar 3 tahun lalu dan beliau bilang dulu sempat aktif di Aktuil. Beliau adalah Bapak Billy Silabumi Muditajaya yang langsung saya kontak karena saya senang sekali bahwa majalah ini akan dibukukan. Beliau menyambut antusiasme saya dengan semangat dan menyarankan saya menulis tentang kesan terhadap majalah ini dan menghubungi pak Odang. Terima kasih untuk Pak Odang yang mendorong saya untuk menulis artikel ini. Tentu saya senang sekali diberi kesempatan karena majalah ini ”sangat” mempengaruhi semangat saya dalam menempuh kehidupan, terutama tentang musik rock yang sangat bersemangat. Maka, jadilah uraian ini, yang lebih bisa dikatakan sebagai ”curhat nuansamatik” dan saya lakukan dengan sangat gembira ria. Mungkinkah majalah ini terbit lagi? Kenapa tidak? Majalah Classic Rock saja sekarang masih laku dan juga membahas kelompok jadul. Semoga bisa hidup kembali. Karena …. Aktuil itu TOP MARKOTOP! Sekian. Keep on rockin’ …! Keep on proggin’ ..! JRENG!***

Jakarta, 20 Mei 2007
Dengan Semangat Kebangkitan Nasional
Gatot Widayanto – Salah satu (dari jutaan) ”korban” Aktuil

Tidak ada komentar:

Posting Komentar